Rabu, 03 Juli 2013

Menggagas Arah Baru Kebijakan Kependudukan Indonesia

Salah satu tujuan pengelolaan kependudukan adalah agar masyarakat merasa nyaman untuk hidup dan bertempat tinggal di suatu kawasan. Semakin padat dan "tidak teratur" suatu kawasan tempat tinggal, seperti semakin padatnya jumlah penduduk atau terlalu tingginya pertumbuhan penduduk maka akan berpengaruh terhadap standar hidup masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Premis ini muncul karena diakui atau tidak pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia, baik yang disebabkan angka kelahiran maupun angka migrasi ternyata cukup tinggi, sementara akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan dasar mereka semakin hari semakin menipis.
Ketidakselarasan pertumbuhan jumlah penduduk dengan akses pemenuhan kebutuhan dasar inilah yang menjadi penyebab paling serius terha-dap penurunan kualitas hidup manusia. Lalu, dimanakah letak penting pemikul tanggung jawab dari persoalan ini? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya mulai kita telaah satu persatu ruang lingkup permasalahan dari problem kependudukan di Indonesia secara umum.
Secara sepintas sudah disebutkan bahwa pengkajian pada persoalan kependudukan selama ini kerap berkutat pada masalah pokok yang berdimensi demografis, yaitu fertilitas (kelahiran), morbiditas (kesakitan), mortalitas (kematian), dan mobilitas (migrasi). Sementara dimensi lain yang berdimensi kebijakan dan juga pengaruh lain berupa tuntutan ke arah pemberdayaan perempuan (terkait dengan hak reproduksi dan pertumbuhan generasi) dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) masih kurang mendapat perhatian yang serius. Ini mengakibatkan adanya suatu kecenderungan berpikir dan berperilaku di masyarakat yang tidak peka bahwa pertumbuhan penduduk sangat terkait erat dengan peningkatan kesejahteraan hidup mereka.


Kebijakan yang Visioner
Dengan menelaah persoalan mendasar mengenai kependudukan itu, maka mau tidak mau tuntutan terhadap perubahan atau optimalisasi kebijakan menjadi penting. Ini disebabkan oleh keberadaan pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi dari pengelolaan kependudukan di Indonesia sekaligus menjadi penentu perubahan kehidupan kualitas hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kebijakan kependudukan yang diusung memang sebaiknya merupakan kebijakan yang lebih visioner, dalam arti melihat bentuk, implementasi, dan implikasi kebijakan yang selaras dengan kondisi kehidupan masyarakat kekinian.
Di samping itu, dengan pembagian wewenang pengelolaan kepemerintahan antara pusat dan daerah, maka juga diperhatikan sejauhmana keterlibatan pemerintah pusat dan daerah dalam menangani persoalan kependudukan itu. Ini juga berarti bahwa kebijakan kependudukan yang seragam berlaku di seluruh wilayah Indonesia perlu dikaji-ulang karena kondisi dan konteks kehidupan masyarakat sangat tergantung pada dimensi lokalitasnya masing-masing. Paling tidak, terdapat lima hal penting yang harus diperhatikan dalam memformulasikan arah kebijakan kependudukan yang visioner.
Pertama, misi kebijakan yang dituangkan dalam program-program kependudukan tidak lagi ditujukan pada target-target yang berdimensi kuantitatif semata-mata, seperti keharusan pencapaian penurunan angka fertilitas tanpa memerhatikan sisi kualitatif, yaitu suara-suara dari masyarakat yang bersangkutan. Jika tujuannya adalah target penurunan angka fertilitas secara kuantitatif, maka implementasi program di lapangan dikuatirkan akan dilakukan dengan cara-cara yang tidak simpatik. Karena dalam hal ini yang dipentingkan adalah target, bukan pada prosesnya.
Kedua, perlunya keterlibatan masyarakat dalam mencapai sasaran program kependudukan. Selama ini, sangat sedikit di antara warga masyarakat yang mengerti informasi kebijakan dan program kependudukan. Informasi dalam bentuk data, produk kebijakan seperti peraturan hukum masih terbatas dikuasai dan dimengerti oleh kalangan terbatas seperti sebagian aparat pemerintah, sebagian akademisi, dan sebagian LSM. Misalnya, adanya undang-undang tentang administrasi penduduk, atau peraturan menteri tentang pengelolaan kependudukan yang profesional hampir tidak dimengerti oleh khalayak luas, apalagi pada tingkat implemetasinya di lapangan. Untuk hal yang sederhana saja seperti mengurus surat-surat administrasi penduduk, masih banyak masyarakat yang sulit untuk mendapatkan aksesnya.
Di sisi lain, ketersediaan informasi yang terbuka juga sebenarnya bisa dipakai oleh berbagai perusahaan yang ingin melakukan investasi. Tetapi keterbatasan informasi itu terkadang mempersulit investor untuk mengambil keputusan secara tepat.
Ketiga, perlunya memperjelas dan mempertegas fungsi kelembagaan dalam pengelolaan kependudukan. Misalnya, bagaimana sinergitas antara Departemen Dalam Negeri dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam pengelolaan kependudukan juga tampaknya belum memadai. Sinergitas secara kelembagaan akan sangat memengaruhi kebijakan dan pembentukan program-program di masyarakat.
Keempat, pemisahan wewenang pengaturan pemerintahan di tingkat pusat dan daerah tidak semestinya membuat perumusan program-program di bidang pengelolaan kependudukan menjadi tumpang tindah, atau sebaliknya malah tidak sinergis sama sekali. Pemisahan wewenang itu seharusnya bisa memunculkan suatu keserasian kebijakan antara keduanya. Artinya, mana yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat dan mana yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah seharusnya juga menjadi sasaran dari perubahan kebijakan kependudukan di Indonesia. Sampai saat ini, masih sangat jarang terdengar adanya pemerintah daerah yang memiliki suatu blue-print atau perencanaan yang matang dalam mengelola kehidupan penduduk di daerahnya masing-masing. Dinas-dinas yang seharusnya bisa dimaksimalkan dalam membantu mengurangi fertilitas, morbiditas, dan mortalitas misalnya, juga belum menampakkan kematangan perencanaan itu.
Kelima, seiring dengan semakin cepatnya perubahan kehidupan dalam iklim global dan juga tuntutan terhadap perlindungan dan pemenuhan HAM, maka isu-isu strategis seperti perempuan, penduduk usia lanjut, kemiskinan, dan penduduk pedesaan perlu mendapat prioritas. Prioritas tersebut bisa menjadi tolok-ukur dari keberhasilan kebijakan kependudukan di masa kini terutama dalam percepatan arus globalisasi yang sulit terbendung.
Akhirnya, meskipun kelima poin gagasan dasar kebijakan kependudukan tersebut perlu dilakukan, terdapat syarat mendasar lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu pemantapan kualitas sumberdaya manusia perumus, pelaksana, dan pengawas kebijakan, termasuk juga menanamkan pengetahuan dan kesadaran bagi masyarakat mengenai pentingnya mengelola kehidupan mereka sendiri. Jika tidak, maka sebagus apapun kebijakan dibuat, maka ia tidak akan menghasilkan apapun dan tidak akan mengubah kehidupan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.
*)Penulis adalah Wakil Sekjen KOWANI dan Pemerhati Isu-isu Kependudukan.

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...