Salah satu tujuan pengelolaan kependudukan adalah agar masyarakat merasa
nyaman untuk hidup dan bertempat tinggal di suatu kawasan. Semakin
padat dan "tidak teratur" suatu kawasan tempat tinggal, seperti semakin
padatnya jumlah penduduk atau terlalu tingginya pertumbuhan penduduk
maka akan berpengaruh terhadap standar hidup masyarakat, baik dalam
bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Premis ini muncul karena diakui atau
tidak pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia, baik yang disebabkan
angka kelahiran maupun angka migrasi ternyata cukup tinggi, sementara
akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan dasar mereka semakin hari
semakin menipis.
Ketidakselarasan pertumbuhan jumlah penduduk dengan akses pemenuhan
kebutuhan dasar inilah yang menjadi penyebab paling serius terha-dap
penurunan kualitas hidup manusia. Lalu, dimanakah letak penting pemikul
tanggung jawab dari persoalan ini? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada
baiknya mulai kita telaah satu persatu ruang lingkup permasalahan dari
problem kependudukan di Indonesia secara umum.
Secara sepintas sudah disebutkan bahwa pengkajian pada persoalan
kependudukan selama ini kerap berkutat pada masalah pokok yang
berdimensi demografis, yaitu fertilitas (kelahiran), morbiditas
(kesakitan), mortalitas (kematian), dan mobilitas (migrasi). Sementara
dimensi lain yang berdimensi kebijakan dan juga pengaruh lain berupa
tuntutan ke arah pemberdayaan perempuan (terkait dengan hak reproduksi
dan pertumbuhan generasi) dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) masih
kurang mendapat perhatian yang serius. Ini mengakibatkan adanya suatu
kecenderungan berpikir dan berperilaku di masyarakat yang tidak peka
bahwa pertumbuhan penduduk sangat terkait erat dengan peningkatan
kesejahteraan hidup mereka.
Kebijakan yang Visioner
Dengan menelaah persoalan mendasar mengenai kependudukan itu, maka
mau tidak mau tuntutan terhadap perubahan atau optimalisasi kebijakan
menjadi penting. Ini disebabkan oleh keberadaan pemerintah sebagai
pemegang otoritas tertinggi dari pengelolaan kependudukan di Indonesia
sekaligus menjadi penentu perubahan kehidupan kualitas hidup masyarakat
Indonesia secara keseluruhan. Kebijakan kependudukan yang diusung memang
sebaiknya merupakan kebijakan yang lebih visioner, dalam arti melihat
bentuk, implementasi, dan implikasi kebijakan yang selaras dengan
kondisi kehidupan masyarakat kekinian.
Di samping itu, dengan pembagian wewenang pengelolaan kepemerintahan
antara pusat dan daerah, maka juga diperhatikan sejauhmana keterlibatan
pemerintah pusat dan daerah dalam menangani persoalan kependudukan itu.
Ini juga berarti bahwa kebijakan kependudukan yang seragam berlaku di
seluruh wilayah Indonesia perlu dikaji-ulang karena kondisi dan konteks
kehidupan masyarakat sangat tergantung pada dimensi lokalitasnya
masing-masing. Paling tidak, terdapat lima hal penting yang harus
diperhatikan dalam memformulasikan arah kebijakan kependudukan yang
visioner.
Pertama, misi kebijakan yang dituangkan dalam program-program
kependudukan tidak lagi ditujukan pada target-target yang berdimensi
kuantitatif semata-mata, seperti keharusan pencapaian penurunan angka
fertilitas tanpa memerhatikan sisi kualitatif, yaitu suara-suara dari
masyarakat yang bersangkutan. Jika tujuannya adalah target penurunan
angka fertilitas secara kuantitatif, maka implementasi program di
lapangan dikuatirkan akan dilakukan dengan cara-cara yang tidak
simpatik. Karena dalam hal ini yang dipentingkan adalah target, bukan
pada prosesnya.
Kedua, perlunya keterlibatan masyarakat dalam mencapai sasaran
program kependudukan. Selama ini, sangat sedikit di antara warga
masyarakat yang mengerti informasi kebijakan dan program kependudukan.
Informasi dalam bentuk data, produk kebijakan seperti peraturan hukum
masih terbatas dikuasai dan dimengerti oleh kalangan terbatas seperti
sebagian aparat pemerintah, sebagian akademisi, dan sebagian LSM.
Misalnya, adanya undang-undang tentang administrasi penduduk, atau
peraturan menteri tentang pengelolaan kependudukan yang profesional
hampir tidak dimengerti oleh khalayak luas, apalagi pada tingkat
implemetasinya di lapangan. Untuk hal yang sederhana saja seperti
mengurus surat-surat administrasi penduduk, masih banyak masyarakat yang
sulit untuk mendapatkan aksesnya.
Di sisi lain, ketersediaan informasi yang terbuka juga sebenarnya
bisa dipakai oleh berbagai perusahaan yang ingin melakukan investasi.
Tetapi keterbatasan informasi itu terkadang mempersulit investor untuk
mengambil keputusan secara tepat.
Ketiga, perlunya memperjelas dan mempertegas fungsi kelembagaan
dalam pengelolaan kependudukan. Misalnya, bagaimana sinergitas antara
Departemen Dalam Negeri dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
dalam pengelolaan kependudukan juga tampaknya belum memadai. Sinergitas
secara kelembagaan akan sangat memengaruhi kebijakan dan pembentukan
program-program di masyarakat.
Keempat, pemisahan wewenang pengaturan pemerintahan di tingkat pusat
dan daerah tidak semestinya membuat perumusan program-program di bidang
pengelolaan kependudukan menjadi tumpang tindah, atau sebaliknya malah
tidak sinergis sama sekali. Pemisahan wewenang itu seharusnya bisa
memunculkan suatu keserasian kebijakan antara keduanya. Artinya, mana
yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat dan mana yang bisa dilakukan
oleh pemerintah daerah seharusnya juga menjadi sasaran dari perubahan
kebijakan kependudukan di Indonesia. Sampai saat ini, masih sangat
jarang terdengar adanya pemerintah daerah yang memiliki suatu blue-print
atau perencanaan yang matang dalam mengelola kehidupan penduduk di
daerahnya masing-masing. Dinas-dinas yang seharusnya bisa dimaksimalkan
dalam membantu mengurangi fertilitas, morbiditas, dan mortalitas
misalnya, juga belum menampakkan kematangan perencanaan itu.
Kelima, seiring dengan semakin cepatnya perubahan kehidupan dalam
iklim global dan juga tuntutan terhadap perlindungan dan pemenuhan HAM,
maka isu-isu strategis seperti perempuan, penduduk usia lanjut,
kemiskinan, dan penduduk pedesaan perlu mendapat prioritas. Prioritas
tersebut bisa menjadi tolok-ukur dari keberhasilan kebijakan
kependudukan di masa kini terutama dalam percepatan arus globalisasi
yang sulit terbendung.
Akhirnya, meskipun kelima poin gagasan dasar kebijakan kependudukan
tersebut perlu dilakukan, terdapat syarat mendasar lain yang tidak kalah
pentingnya, yaitu pemantapan kualitas sumberdaya manusia perumus,
pelaksana, dan pengawas kebijakan, termasuk juga menanamkan pengetahuan
dan kesadaran bagi masyarakat mengenai pentingnya mengelola kehidupan
mereka sendiri. Jika tidak, maka sebagus apapun kebijakan dibuat, maka
ia tidak akan menghasilkan apapun dan tidak akan mengubah kehidupan
masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.
*)Penulis adalah Wakil Sekjen KOWANI dan Pemerhati Isu-isu Kependudukan.
Rabu, 03 Juli 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar