Rabu, 03 Juli 2013

Kompolnas: Entaskan Pengangguran Bukan Tugas Polisi

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Kepolisian Nasional menilai program Kepolisian Daerah Metro Jaya ikut mengentaskan warga dari pengangguran melenceng dari tugas pokok kepolisian. Lewat program Polisi Peduli Pengangguran, yang kini masih berjalan, kepolisian merekrut orang yang tidak punya pekerjaan untuk dilatih keterampilan dan menyalurkannya ke sejumlah perusahaan. “Kalau mengentaskan (warga dari) kemiskinan itu masuk ranah pemerintah daerah,” kata Komisioner Kompolnas Hamidah Abdurrachman Rabu, 10 April 2013.

Menurut Hamidah, tugas utama kepolisian adalah mengayomi dan melindungi warga negara serta menegakkan hukum. Dia khawatir, jika polisi ikut menciptakan lapangan pekerjaan, hal itu justru akan mengganggu tugas utama kepolisian.

Program Polisi Peduli Pengangguran berjalan di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan sejak Januari lalu. Polsek Kebayoran Baru, yang menjadi pusat program ini di Jakarta Selatan, sudah merekrut warga pengangguran dalam dua gelombang sejak Januari lalu. “Gelombang pertama yang mendaftar 70 orang, yang lolos 40. Gelombang kedua masih berlangsung, yang mendaftar 45 orang," kata Kepala Unit Binmas Polsek Kebayoran Baru Komisaris Syem A. Ekon, Selasa lalu.

Setelah lolos seleksi, kata dia, para penganggur itu mendapat kursus teknis di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) selama tiga bulan. “Setelah itu kami rekomendasikan ke perusahaan yang berminat,” ujarnya.

Menurut juru bicara Polda Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto, Polda memiliki alasan kuat menjalankan program tersebut. Menurut dia, salah satu penyebab tingginya tingkat kriminalitas adalah tingkat kesejahteraan masyarakat yang jauh dari cukup. “Berkurangnya pengangguran di Ibu Kota dapat mengurangi jumlah preman yang kerap menebar kejahatan,” ujarnya.

Program yang digagas oleh Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Putut Eko Bayuseno pada November tahun lalu itu berangkat dari data yang diperoleh kepolisian bahwa hampir 60 persen pelaku kejahatan adalah orang-orang yang belum mempunyai pekerjaan. “Perlu terobosan untuk menanganinya," ujar Putut di Pelabuhan Sunda Kelapa, November tahun lalu.

Salah satu pihak yang diajak bekerja sama oleh Polda adalah pengelola Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok. Para penganggur yang sudah dilatih akan diikutkan dalam penataan kedua pelabuhan tersebut. General Manager Pelabuhan Sunda Kelapa Agus Hendrianto kala itu mendukung program ini. Pertengahan 2013, kata dia, akan disediakan sekitar 1.000 lowongan pekerjaan. ”Kalau mereka bisa menyemen, ya, kami ambil,” ujarnya.

Adapun Polres Jakarta Timur juga mulai melatih 100 orang untuk disiapkan menjadi satuan pengamanan dan sopir di kawasan Jawatan Industri Pulo Gadung. Pengganguran yang direkrut berkelakuan baik dan tidak tersangkut masalah hukum. Perekrutan ini tidak dipungut biaya. Di Jakarta Barat, program ini dipusatkan di Polres Cengkareng dan Kalideres. Polsek Kalideres mengklaim menyalurkan sekitar 30 penganggur setiap bulan sejak Januari lalu. Polsek Cengkareng melatih 20 penganggur menjadi satpam sejak Februari lalu.

Meski menyebut program itu bagus, Hamidah menyarankan kegiatan seperti ini jangan sampai dijadikan program jangka panjang. "Ini sebenarnya pancingan untuk pemerintah agar lebih memperhatikan soal pekerjaan bagi warganya," katanya, sambil menambahkan, “Agar polisi bisa kembali menjalankan tugas mereka.”

Penganggur Muda Indonesia Tertinggi di Asia

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menyatakan kaum muda memiliki tingkat kesulitan mencari pekerjaan lima kali lebih besar daripada pekerja dewasa. "Itu terjadi karena ketersediaan lapangan kerja untuk angkatan muda semakin menurun," kata Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN, Wendi Hartanto, dalam acara temu wartawan di kantornya Rabu, 11 April 2012.

Menurut Wendi, kaum muda diperkirakan 4,6 kali lebih besar menjadi pengangguran dibanding pekerja dewasa. Padahal dalam skala global angkanya hanya 2,8 kali lebih besar. Data tersebut ia kutip dari angka perkiraan International Labor Organization.

Sedangkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengungkapkan tingkat pengangguran terbuka usia muda antara 15 hingga 29 tahun di Indonesia mencapai 19,9 persen. Sementara Srilangka 17,9 persen dan Filipina 16,2 persen. Data tersebut, kata dia, membuat Indonesia menyandang gelar sebagai negara dengan pengangguran usia muda tertinggi di Asia Pasifik.

Ia mengatakan permasalahan tersebut akibat kualitas pekerjaan yang tersedia untuk anak muda semakin menurun. "Apa lagi biasanya mereka pilih-pilih pekerjaan. Karena tidak dapat, akhirnya menganggur," kata dia.

Permasalahan lain adalah kaum muda yang bekerja selama ini terkonsentrasi pada pekerjaan informal dan murah. Pekerjaan tersebut juga tanpa jaminan sosial dan tanpa pesangon ketika diberhentikan dari pekerjaan.

Ia khawatir jika pengangguran usia angkatan kerja tidak terserap pasar kerja dengan baik akan berisiko menimbulkan kemiskinan massal. Terlebih lagi jika pengangguran muda tersebut berasal dari mereka yang berpendidikan SD dan SLTP.

"Jika dirata-rata, lama masa tempuh pendidikan penduduk Indonesia baru 5,8 tahun," katanya. Ia mengatakan masih banyak anak usia sekolah tidak sekolah. Mereka diminta bekerja mencari uang oleh keluarganya. Akibatnya kualitas sumber daya manusianya juga ikut rendah.

Kerugian ekonomi jangka pendek dari hal itu menurutnya berupa rendahnya produktivitas, hilangnya waktu produktif, biaya karyawan naik, dan kapasitas terpakai perusahaan rendah. Sementara kerugian jangka panjang adalah mutu tenaga kerja yang rendah, TKI hanya sebagai tenaga kasar, pertumbuhan ekonomi lamban, dan daya saing global rendah.

Kerugian lain adalah terciptanya kemiskinan struktural karena orang yang putus sekolah sulit mendapatkan pekerjaan yang dapat meningkatkan kesejahteraannya. Jika orang tersebut memiliki anak, anak mereka juga tidak dapat mengenyam pendidikan karena tidak ada biaya.

Satu Juta Intelektual di Indonesia Menganggur

TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak satu juta pengangguran di Indonesia adalah lulusan perguruan tinggi. Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan A. Iskandar mengatakan, per September 2011, jumlah pengangguran intelektual di Indonesia mencapai 1,1 juta orang. “Naik 15,71 persen dibandingkan 2010,” kata Marzan saat kuliah umum pelatihan wirausaha industri inovatif di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jumat, 13 April 2012.

Meningkatnya jumlah pengangguran intelektual disebabkan orientasi para sarjana adalah mencari pekerjaan dan bukannya menciptakan pekerjaan. Oleh karena itu, dia meminta para sarjana mengembangkan jiwa kewirausahaan ketimbang sekadar menjadi pegawai.

Untuk mendukung tumbuhnya wirausaha baru, pihaknya bekerja sama dengan lembaga rumah ekonomi rakyat mengadakan pelatihan wirausaha berbasis teknologi atau technopreneurship. Program ini adalah kelanjutan program pusat inovasi usaha mikro-kecil dan menengah yang sudah berjalan sejak 2009. “Selain technopreneurship, program lainnya yang sudah berjalan adalah inkubator bisnis berbasis teknologi di kampus-kampus,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Rumah Ekonomi Rakyat Taufiq Amrullah mengatakan program technopreneurship sudah tiga kali diselenggarakan. Yang pertama di Tangerang pada Oktober 2011, yang diikuti 250 peserta. Yang kedua, pada Februari 2012 di Jakarta, dengan 350 peserta. “Hari ini di UNS Surakarta yang diikuti 400 peserta. Dengan demikian, program ini sudah melatih seribu pengusaha pemula,” katanya.

Setiap peserta pelatihan akan mendapatkan materi tentang manajemen, analisis pasar, mengetahui karakter produk dan calon konsumen, dan memberikan motivasi. Setiap peserta sebelumnya harus sudah membawa proposal bisnis yang berkaitan dengan teknologi.

Proposal tersebut dipresentasikan di depan dewan juri dan bagi proposal yang layak dikembangkan, peserta akan masuk dalam program inkubasi bisnis. Di situ akan didampingi dan dilatih untuk merealisasikan ide bisnisnya, termasuk dihubungkan dengan pelaku usaha yang sudah mapan sebagai mentor.

2013, Penganggur Ditargetkan Turun Jadi 7,2 Juta

TEMPO.CO, Surakarta - Kementerian Tenaga Kerja menargetkan tingkat pengangguran pada 2013 di kisaran 5,8 persen hingga 6,1 persen. Atau dengan kata lain, jumlah penganggur di Indonesia dipatok antara 7,2-7,4 juta orang.

Tingkat pengangguran tahun ini diharapkan stabil pada angka 6,4 persen sampai 6,6 persen atau sekitar 7,6 juta orang. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan perkiraan tingkat pengangguran untuk 2013 di kisaran 5,8 persen hingga 6,1 persen cukup realistis.

“Kalau pertumbuhan ekonomi 1 persen, menciptakan sekitar 350 ribu kesempatan kerja, maka itu target realistis,” kata Muhaimin di Surakarta, Rabu, 19 September 2012. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi mencapai 6,8 persen sampai 7,2 persen, maka dapat tercipta 2,5-2,7 juta angkatan kerja baru di 2013.

Derdasarkan data Badan Pusat Statistik, tahun depan akan ada peningkatan jumlah penduduk yang bekerja. Pada Agustus 2011, jumlah orang yang bekerja sebanyak 109,67 juta orang. Dan pada Februari 2012, jumlah pekerja meningkat menjadi 112,8 juta orang. “Angka pengangguran juga turun dari 7,7 juta orang menjadi 7,61 juta orang,” kata Muhaimin.

Salah satu upaya menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan baru dengan program transmigrasi. Program ini diikuti dengan pengembangan lahan-lahan pertanian dan industri pengolahan di kawasan transmigrasi, khususnya untuk komoditas unggulan seperti kelapa, kelapa sawit, karet, dan tebu.

“Terbukti saat ini beberapa kawasan transmigrasi sudah menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru. Di sana terbentuk ibu kota kabupaten dan kecamatan serta pusat produksi pertanian,”  katanya.

Pegawai Bank di Garut Terima BLSM

INILAH.COM, Garut - Kacaunya pendataan penerima BLSM di Kabupaten Garut terkait penerima bantuan salah sasaran, terus bermunculan.

Setelah sebelumnya tercium ada pengusaha dan pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Geothermal Energi Area Kamojang-Bandung di Kelurahan Ciwalen Kecamatan Garut Kota menerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS) untuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), di Desa Cimanganten Kecamatan Tarogong Kaler pun tercatat ada seorang pegawai bank menerima BLSM.

Hal itu terungkap ketika sekitar 50 warga bersama aparat pemerintah Desa Timbanganten beraudensi dengan Badan Pusat Statistik, dan dinas/instansi terkait difasilitasi Komisi C DPRD Kabupaten Garut di Ruang Rapat Paripurna DPRD Garut Jalan Patriot, Rabu (3/7).

"Anak saya, Yanti, suaminya pegawai bank di Karawang, tapi kok bisa menerima BLSM? Padahal waktu pendataan itu, anak saya tidak ada di tempat. Makanya, saya langsung emosi dan saat musyawarah desa, saya langsung menolak. Masak anak saya menerima BLSM, sementara orang lain yang jelas-jelas berhak justru tak menerimanya?" terang Ny Enten (64), warga RW 04 Desa Cimanganten.

Dia mengaku tak habis pikir dengan pendataan warga miskin di daerahnya yang tak akurat. "Kayaknya pendataannya 'ditembak'. Soalnya, anak saya itu selain dapat BLSM, juga dapat Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Ya, kami tolak dan kami kembalikan. Bagaimana mungkin anak saya dapat Jamkesmas. Sedangkan untuk perawatan kesehatan anak bila sakit, selalu di VIP?" katanya.

Menurutnya, pascapenolakannya terhadap BLSM tersebut, serentak semua warga penerima BLSM di Desa Cimanganten menolak BLSM. "Kalau kuotanya hanya 54 orang, sama dengan kuota raskin, 'piriweuheun' (mengundang masalah)," ujarnya.

Kepala Desa Cimanganten, Asep Zulgofar membenarkan semua warga penerima BLSM di daerahnya menolak BLSM. Begitu juga terhadap program beras untuk rumah tangga miskin (raskin), warga menolaknya, bahkan sejak Januari lalu.

"Kami sepakat menolak BLSM dan raskin. Kalaupun harus diterima maka kami minta dilakukan verifikasi, pendataan ulang. Kami sudah buatkan berita acara penolakan, dan dikirimkan ke Kantor Pos agar penyaluran KPS (Kartu Perlindungan Sosial) untuk BLSM ditunda. Bukannya tak butuh BLSM atau raskin, tapi kalau kuotanya tak sesuai, sangat riskan," kata Asep.

Menanggapi desakan warga agar dilakukan pendataan faktual terkait penerima BLSM dan raskin di Desa Cimanganten, Sekretaris Komisi C DPRD Garut, Lela Nurlaela menegaskan pihaknya segera membentuk Tim Verifikasi dengan melibatkan Badan Pusat Statistik (BPS), dinas/instansi terkait, dan unsur pemerintahan Desa Cimanganten.

Senada ditegaskan anggota Komisi C, Agus Koswara. "Besok (Kamis, 4/7), kita rapat lagi dengan mengundang pihak terkait guna membahas pembentukan Tim Verifikasi BLSM dan raskin, khusus Desa Cimanganten. Kalau perlu, kita langsung datang ke TNP2K (Tim Nasional Penanggulangan Kemiskinan) di Jakarta untuk mempertanyakan masalah ini, dan meminta tambahan kuota," kata Agus.

Pada pertemuan tersebut tampak hadir juga anggota Komisi C lainnya, seperti Acep Junaedi, Kepala BPS Kabupaten Garut Bambang Suyatno, dan Kepala Sub Bagian Pertanian pada Bagian Admistrasi Perekonomian Setda Garut Eli Herly.[jul]

Selama 6 Bulan, Pertamina Salurkan 22,6 Juta KL BBM Subsidi

VIVAnews - Realisasi penyaluran BBM bersubsidi hingga akhir Juni mencapai 22,6 juta kiloliter atau 47,4 persen dari total kuota untuk PT Pertamina yang dialokasikan berdasarkan APBN-P 2013 yang ditetapkan sebesar 47,6 juta KL.

Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir, Selasa 2 Juli 2013, menjelaskan hingga 30 Juni 2013, Pertamina telah menyalurkan premium  sebanyak 14,4 juta KL atau 46,7 persen terhadap kuota BBM bersubsidi Pertamina sebesar 30,7 juta KL.

Adapun, realisasi penyaluran solar pada periode yang sama telah mencapai 7,7 juta KL yang setara dengan 48,8 persen dari kuota BBM bersubsidi Pertamina berdasarkan APBN-P 2013.

Berdasarkan APBN-P 2013, kuota premium bersubsidi naik sebesar 1,57 juta KL dari anggaran semula yang ditetapkan 29 juta KL. Sementara, kuota solar bersubsidi yang ditetapkan bertambah sebesar 923.000 KL dari alokasi semula dalam APBN 2013 sebanyak 14,3 juta KL.

Sedangkan kuota kerosene (minyak tanah) ditetapkan turun sebesar 500 ribu KL sehingga menjadi 1,2 juta KL dari semula 1,7 juta KL. Realisasi penyaluran Kerosene hingga akhir semester I 2013 mencapai 45,6 persen terhadap kuota baru atau sebesar 547 ribu KL.

“Realisasi penyaluran BBM bersubsidi dengan tambahan kuota baru masih on track dan diharapkan akan cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar masyarakat hingga akhir tahun,” kata Ali Mundakir dalam keterangan tertulis.

Ali juga menambahkan stok BBM bersubsidi saat ini berada di level di atas 20 hari untuk premium dan solar. Menurut dia, dengan kondisi stok tersebut akan cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, termasuk menjelang Ramadhan.

Harga minyak mentah Indonesia naik
Sementara itu, tim harga minyak Indonesia menyatakan harga rata-rata minyak mentah Juni 2013 mencapai US$99,97 per barel, naik sebesar US$0,96 per barel pada bulan sebelumnya, yaitu US$99,01 per barel.

Namun, harga ICP Juni 2013 masih lebih rendah dalam asumsi APBN-P 2013 sebesar US$108 per barel. Sedangkan harga Minas/SLC selama Juni 2013 mencapai US$102,75 per barel atau sebesar US$2,66 per barel dari USD100,09 per barel pada Mei 2013. Ada beberapa faktor yang menyebabkan harga minyak naik.

Pertama adalah menguatnya perekonomian dunia dengan indikasi data ekonomi AS yang menunjukkan peningkatan pasar perumahan dan penurunan angka pengangguran. Kedua adalah terjadinya permintaan minyak mentah dunia 2013 sebesar 800 ribu barel per hari menjadi 90,2 juta barel per hari pada triwulan III 2013.

Sedangkan faktor ketiga adalah adanya penurunan produksi minyak mentah dari North Sea sebesar 400 ribu barel karena ada kegiatan perawatan fasilitas produksi. (eh)

Menggagas Arah Baru Kebijakan Kependudukan Indonesia

Salah satu tujuan pengelolaan kependudukan adalah agar masyarakat merasa nyaman untuk hidup dan bertempat tinggal di suatu kawasan. Semakin padat dan "tidak teratur" suatu kawasan tempat tinggal, seperti semakin padatnya jumlah penduduk atau terlalu tingginya pertumbuhan penduduk maka akan berpengaruh terhadap standar hidup masyarakat, baik dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Premis ini muncul karena diakui atau tidak pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia, baik yang disebabkan angka kelahiran maupun angka migrasi ternyata cukup tinggi, sementara akses masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan dasar mereka semakin hari semakin menipis.
Ketidakselarasan pertumbuhan jumlah penduduk dengan akses pemenuhan kebutuhan dasar inilah yang menjadi penyebab paling serius terha-dap penurunan kualitas hidup manusia. Lalu, dimanakah letak penting pemikul tanggung jawab dari persoalan ini? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya mulai kita telaah satu persatu ruang lingkup permasalahan dari problem kependudukan di Indonesia secara umum.
Secara sepintas sudah disebutkan bahwa pengkajian pada persoalan kependudukan selama ini kerap berkutat pada masalah pokok yang berdimensi demografis, yaitu fertilitas (kelahiran), morbiditas (kesakitan), mortalitas (kematian), dan mobilitas (migrasi). Sementara dimensi lain yang berdimensi kebijakan dan juga pengaruh lain berupa tuntutan ke arah pemberdayaan perempuan (terkait dengan hak reproduksi dan pertumbuhan generasi) dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) masih kurang mendapat perhatian yang serius. Ini mengakibatkan adanya suatu kecenderungan berpikir dan berperilaku di masyarakat yang tidak peka bahwa pertumbuhan penduduk sangat terkait erat dengan peningkatan kesejahteraan hidup mereka.


Kebijakan yang Visioner
Dengan menelaah persoalan mendasar mengenai kependudukan itu, maka mau tidak mau tuntutan terhadap perubahan atau optimalisasi kebijakan menjadi penting. Ini disebabkan oleh keberadaan pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi dari pengelolaan kependudukan di Indonesia sekaligus menjadi penentu perubahan kehidupan kualitas hidup masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kebijakan kependudukan yang diusung memang sebaiknya merupakan kebijakan yang lebih visioner, dalam arti melihat bentuk, implementasi, dan implikasi kebijakan yang selaras dengan kondisi kehidupan masyarakat kekinian.
Di samping itu, dengan pembagian wewenang pengelolaan kepemerintahan antara pusat dan daerah, maka juga diperhatikan sejauhmana keterlibatan pemerintah pusat dan daerah dalam menangani persoalan kependudukan itu. Ini juga berarti bahwa kebijakan kependudukan yang seragam berlaku di seluruh wilayah Indonesia perlu dikaji-ulang karena kondisi dan konteks kehidupan masyarakat sangat tergantung pada dimensi lokalitasnya masing-masing. Paling tidak, terdapat lima hal penting yang harus diperhatikan dalam memformulasikan arah kebijakan kependudukan yang visioner.
Pertama, misi kebijakan yang dituangkan dalam program-program kependudukan tidak lagi ditujukan pada target-target yang berdimensi kuantitatif semata-mata, seperti keharusan pencapaian penurunan angka fertilitas tanpa memerhatikan sisi kualitatif, yaitu suara-suara dari masyarakat yang bersangkutan. Jika tujuannya adalah target penurunan angka fertilitas secara kuantitatif, maka implementasi program di lapangan dikuatirkan akan dilakukan dengan cara-cara yang tidak simpatik. Karena dalam hal ini yang dipentingkan adalah target, bukan pada prosesnya.
Kedua, perlunya keterlibatan masyarakat dalam mencapai sasaran program kependudukan. Selama ini, sangat sedikit di antara warga masyarakat yang mengerti informasi kebijakan dan program kependudukan. Informasi dalam bentuk data, produk kebijakan seperti peraturan hukum masih terbatas dikuasai dan dimengerti oleh kalangan terbatas seperti sebagian aparat pemerintah, sebagian akademisi, dan sebagian LSM. Misalnya, adanya undang-undang tentang administrasi penduduk, atau peraturan menteri tentang pengelolaan kependudukan yang profesional hampir tidak dimengerti oleh khalayak luas, apalagi pada tingkat implemetasinya di lapangan. Untuk hal yang sederhana saja seperti mengurus surat-surat administrasi penduduk, masih banyak masyarakat yang sulit untuk mendapatkan aksesnya.
Di sisi lain, ketersediaan informasi yang terbuka juga sebenarnya bisa dipakai oleh berbagai perusahaan yang ingin melakukan investasi. Tetapi keterbatasan informasi itu terkadang mempersulit investor untuk mengambil keputusan secara tepat.
Ketiga, perlunya memperjelas dan mempertegas fungsi kelembagaan dalam pengelolaan kependudukan. Misalnya, bagaimana sinergitas antara Departemen Dalam Negeri dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam pengelolaan kependudukan juga tampaknya belum memadai. Sinergitas secara kelembagaan akan sangat memengaruhi kebijakan dan pembentukan program-program di masyarakat.
Keempat, pemisahan wewenang pengaturan pemerintahan di tingkat pusat dan daerah tidak semestinya membuat perumusan program-program di bidang pengelolaan kependudukan menjadi tumpang tindah, atau sebaliknya malah tidak sinergis sama sekali. Pemisahan wewenang itu seharusnya bisa memunculkan suatu keserasian kebijakan antara keduanya. Artinya, mana yang perlu dilakukan oleh pemerintah pusat dan mana yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah seharusnya juga menjadi sasaran dari perubahan kebijakan kependudukan di Indonesia. Sampai saat ini, masih sangat jarang terdengar adanya pemerintah daerah yang memiliki suatu blue-print atau perencanaan yang matang dalam mengelola kehidupan penduduk di daerahnya masing-masing. Dinas-dinas yang seharusnya bisa dimaksimalkan dalam membantu mengurangi fertilitas, morbiditas, dan mortalitas misalnya, juga belum menampakkan kematangan perencanaan itu.
Kelima, seiring dengan semakin cepatnya perubahan kehidupan dalam iklim global dan juga tuntutan terhadap perlindungan dan pemenuhan HAM, maka isu-isu strategis seperti perempuan, penduduk usia lanjut, kemiskinan, dan penduduk pedesaan perlu mendapat prioritas. Prioritas tersebut bisa menjadi tolok-ukur dari keberhasilan kebijakan kependudukan di masa kini terutama dalam percepatan arus globalisasi yang sulit terbendung.
Akhirnya, meskipun kelima poin gagasan dasar kebijakan kependudukan tersebut perlu dilakukan, terdapat syarat mendasar lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu pemantapan kualitas sumberdaya manusia perumus, pelaksana, dan pengawas kebijakan, termasuk juga menanamkan pengetahuan dan kesadaran bagi masyarakat mengenai pentingnya mengelola kehidupan mereka sendiri. Jika tidak, maka sebagus apapun kebijakan dibuat, maka ia tidak akan menghasilkan apapun dan tidak akan mengubah kehidupan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.
*)Penulis adalah Wakil Sekjen KOWANI dan Pemerhati Isu-isu Kependudukan.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...